1.
Pendahuluan
Pembelajaran
merupakan proses interaksi antara pembelajaran dengan guru dan antarsesama
pembelajar. Interaksi tersebut ditandai sejumlah unsure yaitu 1) tujuan yang hemdak
dicapai, 2) pembelajar dan guru, 3) bahan pembelajaran, 4) metode, dan 5)
penilaian (Debdikbud, 1994:3).
Penilaian
sebagai salah satu komponen pembelajaran, merupaka suatu kegiatan yang tidak
mungkin dipisahkan dari kegiatan pendidikan dan pengajaran secara umum. Dalam
bidang pendidikan, penilaian yang baik mensyaratkan adanya keterkaitan langsung
dengan aktivitas pembelajaran karena pembelajaran akan berjalan efektif apabila
didukung penilaian yang efektif.
Langkah yang
dilakukan guru dalam rangkaian pembelajaran meliputi penyusunan rencana
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, penilaian, analisis dan umpan balik.
Secara evaluator, guru merencanakan, menyelenggarakan, dan mengevaluasi
penilaian. Langkah-langkah yang dapat ditempuh guru meliputi perencanaan,
pengumpulan data, pengolahan data, penafsiran data, dan penggunaaan hasil
penilaian (Buchori dala Nurgiyantoro, 1988b:9).
Dalam
pembelajaran sastra, masih terdapat sejumlah masa;ah dalam pelaksanaan
penilaiannya. Masalah-masalah yang ada diantaranya adalah sistem ujian akhir,
ujian sekolah, bentuk dan ragam soal, kebijakan nilai minimal 6 (khusus untuk
mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia), dan lain-lain.
2.
Penilaian dalam
Kurikulum
a.
Kurikulum 1984
Menurut
kurikulum 1984, penilaian adalah usaha mengumpulkan berbagai informasi yang
menyeluruh, berkesinambungan, dan objektif tentang proses dan hasil belajar
yang telah dicapai oleh siswa melalui kegiatan belajar mengajar yang dapat
dijadikan dasar untuk menentukan perlakuan dan tindakan selanjutnya (Depdikbud,
1985:36).
Teknik
penilaiannya meliputi teknik tes dan teknik nontes. Teknik tes terutama
digunakan untuk menilai kemampuan siswa yang mencakup pengetahuan dan
keterampilan hasil belajar, pelaksanaannya bisa berupa tes tulis, tes lisan, dan
tes perbuatan. Adapun teknik nontes terutama digunakan untuk menilai
karakteristik lainnya yang mencakup segi efektif siswa, misalnya sikap dan
minat. Pelaksanaannya bisa berupa wawancara, pengamatan, sikap penilaian,
penulisan karanga, laporan, dsb. (Debdikbud, 1985:36-37).
Selanjutnya,
jenis tes penilaian menurut kurikulum 1984 meliputi penilaian formatif
(dilakukan pada akhir setiap satuan pelajaran), subsumatif/sumatif (subsumatif
dilaksanakan setelah beberapa satuan pelajaran, sedangkan sumatif penilaian
pada akhir semester), penilaian kokurikuler, ekstrakurikuler, penulisan
karangan, dan laporan.
Prestasi belajar
siswa untuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada satu semester
dikatakan telah memenuhi persyaratan memperoleh kredit jika prestasi belajar
itu mencapai nilai 6 (enam) atau lebih (Debdikbud, 1985:47). Dalam kurikulum
1984 juga berlaku program belajar tuntas. Karena itu program perbaikan dan
pengayaan merupakan rangkaian belajar yang perlu dilaksanakan sebaik-baiknya.
b.
Kurikulum 1994
Penilaian hasil
belajar adalah upaya pengumpulan informasi untuk mengetahui seberapa jauh
pengetahuan dan kemampuan yang telah dicapai siswa pada setiap akhir catur
wula, akhir tahun pelajaran, atau akhir pendidikan. Selanjutnya dalam penilaian
hasil belajar juga dibahas aspek yang dinilai, bentuk penilaian, dan
pelaksanaan penilaian. Aspek yang dinilai dalam pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia meliputi pemahaman dan penggunaan bahasa Indonesia, penguasaan
kebahasaan, dan sikap berbahasa.
Selanjutnya
bentuk penilaian berupa tes tertulis, tes lisan, tes perbuata, dan tes
penugasan. Pelaksanaanya adalah tes tertulis sesudah PBM berlangsung, tes lisan
dilaksanakan selama PBM berlangsung, dan tes perbuatan dan penugasan
dilaksanakan dalam kegiatan ekstrakurikuler. Dari pernyataan tersebut dapat
ditafsirkan bahwa penilaian ditekankan pada pemahaman dan penggunaan bahasa
Indonesia, penguasaan kebahasaan, dan sikap berbahasa,
c.
Kurikulum 2004
Dalam kurikulum 2004, pernyataan
mengenai pembelajaran sastra dikemukakan secara eksplisit. Kemudian salah satu
ruang lingkup bahan kajian dalam mata pelajaran ini adalah aspek kemampuan
bersastra yang meliputi keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis yang berkaitan dengan ragam sastra (Debdikbud, 2003:3).
Menurut kurikulum ini, penilaian adalah upaya
pengumpulan informasi untuk mengetahui seberapa jauh kompetensi berbahasa dan
bersastra Indonesia yang sudah dicapai oleh siswa setelah beberapa tatap muka
di kelas, pada tengah semester, akhir semester, atau akhir tahun (Debdikbud,
2003:7). Aspek yang dinilai mencakup tiga rana, yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotor. Adapun teknik penilaiannya melalui tes nonte (pengamatan kinerja
siswa), atau portofolio (pengamatan seluruh hasil kerja siswa dari awal sampai
akhir tahun).
Selanjutnya sistem penilaian harus
mengacu pada standar kompetensi yang ingin dicapai. Yang termasuk penilaian
autentik, antara lain (O’Malley & Pierce, 1996:4; Nur, 2003:4-16; Laksono,
2004:2):
1)
Penilaian
Kinerja
Penilaian
kinerja adalah suatu penilaian altematif berdasarkan tugas jawaban terbuka
(open-ended task) atau kegiatan hands-on yang dirancang untuk mengukur kinerja
siswa terhadap seperangkat criteria tertentu (Nur, 2003:4). Penilaia ini
digunakan untuk menguji kemampuan siswa dalam mendemonstrasikan pengetahuan dan
keterampilannya (apa yang mereka ketahui dan dapat mereka lakuan) pada berbagai
situasi nyata dan konteks tertentu (Johnson & Johnson, 2002).
Penilaian ini
mempunyai dua karakteristik dasar, yakni (1) siswa diminta untuk
mendemonstrasikan kemampuaanya dan mengkreasikan suatu produk atay terlibat
dalam suatu aktifitas, dan (2) produk penilaian kinerja lebih penting daripada
kinerjanya (performance)-nya.
2)
Portofolio
Portofolio
merupakan suatu asesmen altematif berdasarkan sampel karya siswa yang dipilih
secara seksama yang mendokumentasikan pertumbuhan dan kemajuan dari waktu ke
waktu (Nur, 2003:8). Portofolio tidak selalu berupa catatan atau tulisan,
karena siswa yang memiliki keterbatasan kemampuan menulis dapat mengkomunikasikan
pemahaman dan kinerja mereka dalam bentuk gambar, model fisik, atau alat peraga
(Sodiq. 2004:2).
Sebagai
penilaian yang mengukur aspek yang sangat luas, portofolio dapat dibagi menjadi
tiga, yakni portofilio kerja (untuk memamtau kemajuan dan menilai siswa dalam
mengelolah kegiatan belajar mereka), portofolio dokumen (menyediaka informasi
proses dan produk yang dihasilkan siswa), dan portofolio penampian (seleksi
bermanfaat dari sejumlah hasil kerja yang terbaik yang telah dicapai siswa).
Portofolio dalam pembelajaran sastra bisa dipakai untuk menilai kemampuan siswa
dalam menulis puisi.
3)
Penilaian Diri
Penilaian diri
merupakan penilaian terhadap partisipasi, proses, dan produk siswa sendiri (Dit
PLP, 2002c). siswa dituntut jujur dan memiliki waktu berpikir tentang
perkembangannya sehingga dapat melakukan refleksi. Sebagaicontoh penerapan
penilaian diri dalam pembelajaran sastra adalah pembacaan puisi. Siswa yang
bersangkutan bisa menilai kemampuan temannya ketika salah satu temannya sedang
membaca puisi.
3.
Tes dalam
Pembelajaran Sastra
a.
Taksonomi Bloom
Menurut
taksonomi ini, keluaran hasil belajar mencakup tiga rana, yakni kognitif,
afektif, dan psikomotor (Nurgiyantoro, 1988:296). Namun oleh Anderson &
Krathwohl (2001:27-32), hal itu direvisi menjadi ingatan, pemahaman, penerapan,
analisis, evaluasi, dan kreasi.
Bila diterapkan
dalam pembelajaran sastra, pertanyaan ingatan dipakai untuk menanyakan
pengarang, judul karya, macam alur, dsb. Pertanyaan pemahaman, misalnya bisa
digunakan untuk menanyakan tema apa yang digunakan dalam novel. Adapun sebagai
contoh pertanyaan penerapan, siswa diberi satu halaman cuplikan novel, lalu
mereka diminta untuk mengubahnya menjadi dialog. Untuk tingkat analisis, mereka
ditugasi untuk ditugasi untuk menganalisis unsure intrinsik dan ekstrinsik
dalam cerpen, novel, dsb. Untuk tingkat evaluasi, siswa ditugasi untuk
mengkritik atau menilai kekuatan dan kelemahan sebuah karya sastra beserta
pembuktian dan argumentasinya. Yang terakhir adalah tingkat kreasi, siswa
ditugasi untuk menciptakan subuah karya sastra, misalnya puisi.
b.
Menurut Moody
Moody (1979)
dala Nurgiyantoro (1988:308-314) menyatakan bahwa ada 4 tingkat tes untuk
mengukur hasil belajar sastra, yaitu tingkat informasi , konsep, perspektif,
dan apresiasi. Dari dua pandangan tersebut ternyata penilaian dalam
pembelajaran sastra mencakup teori, sejarah, apresiasi, dan kritik sastra. Yang
perlu digaris bawahi dalam pelaksanaannya adalah porsi masing-masing mencakup
tersebut. Penilaian hendaknya lebih diarahkan ke tingkat apresiasi dan kritik
(rana afektif), bukan lebih condong ke teori dan sejarah sastra.
4.
Problematika
Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Sistem penilaian
dalam kurikulum 1984 dan 1994 telah dilaksanakan dalam pembelajaran. Dari
sejumlah ketentuan dan criteria yang telah dibahas di depan, ternyata dalam
pelaksanaannya dijumpai sejumlah masalah. Antara lain, penekanan aspek penilaian. Dalam kedua kurikulum tersebut secara
tersurat, dinyatakan bahwa aspek penilaian meliputi tiga rana, yakni kognitif,
afektif, dan psikomotor. Dalam praktik, ternyata guru masih lebih condong
menilai rana kognitif.
Problem
berikutnya muncul pada bentuk tes
yang dipakai. Pada umumnya guru lebih suka menggunakan tes tertulis daripada
tes lisan, apalagi tes perbuatan. Kemudian untuk bentuk tes, yang lebih banyak digunakan adalah tes objektif dengan
berbagai variasinya daripada bentuk subjektif. Kalaupun itu ada, soal subjektif
biasanya disusun dalam jumlah kecil dan sebagai pelengkap objektif. Bentuk nontes jarang sekali diterapkan
dalam pembelajaran sastra Indonesia, misalnya pementasan drama.
Yang juga
menarik untuk dikaji adalah problem macam
tes, yang menurut Oiler (1979:37) disebut dengan tes diskrit, yakni tes
yang berfokus pada satu butir tentang sejarah sastra (misalnya pengarang dan
karyanya) atau mengukur keterampilan bersastra secara terpisah (missal menulis
saja).
Problem lain
yang mengenai penilaian dalam pembelajaran sastra adalah ketidakseibangan jumlah soal dengan materi yang dikandung dalam
pembelajaran bahasa dan sastra. Yang dimaksud di sini adalah jumlah butir
soal yang mengukur kemampuan berbahasa, bersastra, dan kebahasaan.
Yang juga
menjadi problem sekaligus boomerang bagi pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia adalah ketentuan kelulusan untuk siswa dalam mata pelajaran ini,
yakni 6 (enam). Karena dengan ketentuan tersebut, guru mata pelajaran yag lain,
biasa jadi kepala sekolah juga, akan meremehkan nilai yang telah diolah guru.
A.
KRITIK
Setelah
membaca teori yang ditulis oleh Maria Mintowati yang berjudul “PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN SASTRA: TINJAUAN
PADA ASPEK PENILAIAN” cukup bagus untuk kita khususnya bagi mahasiswa
Bahasa dan Sastra Indonesia juga guru yang mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia
mengetahui seberapa jauh penilaian dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia dan problem-problem penilaian apa saja yang terjadi dalam
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Itu terbukti
bahwa dalam teori ini bayak menjelaskan tentang penilaian dari berbagai
kurikulum, mulai dari kurikulum 1948, 1994, dan yang terakhir 2004. Dari
kurikulum-kurikulum tersebut telah dijelaskan mengenai pengertian penilaian,
teknik penilaian, jenis/bentuk penilaian, dan aspek penilaian menurut kurikulum
masing-masing.
Pada
bagian tes dalam pembelajaran telah dijelaskan mengenai penilaian tes dalam
pembelajaran sastra berdasarkan Taksonomi Bloom dan menurut Moody. Menurut
Taksomoni Bloom penilaian/hasil belajar siswa mencakup tiga rana, yakni
kognitif, afektif, dan psikomotor (Nurgiyantoro, 1988:296). Sedangkan menurut
Moody (1979) dalam Nurgiyantoro (1988:308-314) menjelaskan bahwa hasil belajar
sastra dibagi menjadi 4 (empat) tingkatan tes, yaitu tingkat informasi, konsep,
perspektif, dan apresiasi.
Yang
terakhir adalah pada pembahasan problematika penilaian dalam pembelajaran
bahasa dan sastra. Telah diterangkan juga, bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia banyak sekali masalah-masalah dalam penilaian,
masalah tersebut yakni antara lain, 1) pada penekanan aspek penilaian, 2)
bentuk tes yang dipakai (bentuk tes maupun nontes), 3) macam tes, 4)
ketidakseimbangan jumlah soal dengan materi yang dikandung dalam pembelajaran
bahasa dan sastra, dan 5) problem pada ketentuan kelulusan untuk sswa dalam
mata pelajaran Bahasa dan Satra Indonesia, yakni minimal 6 (enam). Problema
yang terakhir ini juga menjadi boomerang bagi pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia. Karena dengan ketentuan tersebut, guru mata pelajaran yang lain
biasa jadi kepala sekolah juga. Artinya, jika ada siswa yang nyaris tidak naik
kelas, dan itu disebabkan oleh nilai Bahasa dan Sastra Indonesia kurang dari
enam, guru mapel yang lain akan merayu, mendesak, bahkan memojokkan guru bahasa
agar segera merevisi nilai tersebut.